Pada Pupuh 13, 14 dan 15, menjelaskan secara rinci wilayah Nusantara. Wilayah Udamakatraya sendiri masuk ke dalam Mandala VI.
Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit di masa lampau. Saat itu, kepulauan paling utara di Indonesia ini bernama Udamakatraya.
Kitab ini merupakan karya sastra yang lahir pada zaman Kerajaan Majapahit saat diperintah raja keempat, Hayam Wuruk (1350-1389), yang bergelar Maharaja Sri Rajasanagara.
Buku Kitab Negarakertagama merupakan karya termasyhur pujangga sastra terkenal saat itu, Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365.
Ini merupakan kakawin Jawa kuno yang banyak menceritakan masa kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.
Dalam kitab tersebut, pada pupuh 14.4 terdapat kata ‘Udamakatraya’. Transkrip tersebut jika terjemahan dalam bahasa Indonesia berbunyi :
“Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Mirah, dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta Kota Luwuk, sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk,”
Dalam bukunya yang berjudul ‘Java in the 14th Century: A Study in Cultural History’ (tahun 1960), Pigeaud menulis Uda Makatraya berarti tiga pulau besar di Kepulauan Talaud.
Para ahli sejarah sepakat, tiga pulau besar tersebut adalah Pulau Karakelang, Pulau Salibabu dan Pulau Kabaruan.
Hal tersebut ternyata memang menjadi kuat dengan beberapa bukti peninggalan sejarah.
Kompleks Makam Raja-raja Porodisa yang terletak di Desa Bannada, Kecamatan Gemeh adalah salah satu bukti Kepulauan Talaud pernah terdapat Kerajaan Majapahit.
Dalam bukunya yang berjudul ‘Java in the 14th Century: A Study in Còultural History’ (tahun 1960), Pigeaud menulis Uda Makatraya berarti tiga pulau besar di Kepulauan Talaud.
Para ahli sejarah sepakat, tiga pulau besar tersebut adalah Pulau Karakelang, Pulau Salibabu dan Pulau Kabaruan.
Hal tersebut ternyata memang menjadi kuat dengan beberapa bukti peninggalan sejarah.
Kompleks Makam Raja-raja Porodisa yang terletak di Desa Bannada, Kecamatan Gemeh adalah salah satu bukti Kepulauan Talaud pernah terdapat Kerajaan Majapahit.
Selain itu, Sekolah Menengah Atas (SMA) yang terletak di Desa Bannada, Kecamatan Gemeh, Kabupaten Kepulauan Talaud, juga menggunakan nama Udamakatraya.
Ini jelas menandakan kebanggaan pemerintah dan masyarakat setempat pernah menjadi bagian dari kerajaan Hindu-Budha terakhir dan terbesar yang menguasai Nusantara tersebut.
Bukan hanya itu, beberapa hal yang ada di Talaud dan kepulauan sekitarnya menunjukkan kedekatan nilai budaya dengan Jawa dan Hindu.
Hal itu terlihat seperti adanya gong atau sejenisnya mirip budaya Hindu/Jawa yang berada di Talaud dan sekitarnya
Source: Jelajah Sejarah Manado
Hasta Mandala adalah daerah kekuasaan Majapahit yang meliputi delapan wilayah. Istilah Hasta mandala terdapat dalam kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca pada masa raja Majapahit.
Di dalam buku itu dikisahkan tentang keberhasilan Mahapatih Gajah Mada yang mempersatukan berbagai daerah menjadi satu kesatuan wilayah teritorial yang disebut sebagai wilayah Nusantara yang terdiri dari Hasta Mandala Dwipa (delapan kawasan pulau/kepulauan).
Lebih lanjut dikatakan bahwa wilayah Nusantara versi Hasta Mandala Dwipa digambarkan sebagai berikut:
Mandala l: Yawadwipa atau Seluruh Jawa yang meliputi: Jawa, Madura dan Galiyao (Kangean)
Mandala ll: Suwarnadwipa atau Seluruh wilayah Sumatera yang meliputi; Lampung, Palembang, Jambi, Karitang (Indragiri), Muara Tebo, Dhamacraya (Sijunjung), Kandis, Kahwas, minangkabau, siak, Rekan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandahiling, Tamiang, Perlak, Barat (Aceh), Lamuri, Batan, dan Barus
Mandala lll: Warunadwipa atau Kawasan Kalimantan (Tanjung negara) yang meliputi; Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di serawak), Kota Waringin, Sambas, Lawai (Muara Labai), Kadangdangan (Kendangwangan), Landak, Samedang (Simpang), Tirem (Peniraman), Buruneng (Brunei), Kalka Saludung, Solot (Sulu), Pasir, barite, sebuku, Tabalong (amuntai), Tanjung Kutai, Malanau dan Tanjungpuri
Mandala IV: Ujung Medini atau Semenanjung Melayu, antara lain; Pahang, Hujungmedini (Johor), Lengkaksuka (Kedah), Saimwang (Semang), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura), Sanghyang Hujung, Kelang (Negeri Sembilan), Kelantan, Trangganu, Nacor (Ligor), Pakamuar (Pekan Muar), Keda, Jere, Kanjap (Singkep), Niran (Karimun)
Mandala V: Di sebelah timur pulau Jawa atau seluruh Nusa Tenggara, meliputi: Bali, Bedulu, Lwagajah, Gurun (Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Dompo, Sapi, Sanghyang Api (Sangeang), Bhima, Geram, Hutan Kadali (Baru), Gurun (Gorong), Lombok Mirah (Lombok Barat), Saksak (Lombok Timur), Sumba dan Timur (Timor).
Mandala VI: Kawasan Sulawesi yang meliputi; Banthayang (Bonthain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir, Galiyao Selaya, Solot (Solor).
Mandala VII: Kawasan Maluku yang meliputi; Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambwan (Ambon), Maloko (Ternate)
Mandala VIII: Kawasan Papua yang meliputi; Onin (Papua Barat) dan seran (Papua Selatan).
Kawasan (Mandala) mengandung arti tidak hanya terbatas pada wilayah daratan tetapi termasuk juga lautnya. Dengan demikian istilah Nusantara Hasta Mandala mengandung makna sebagai gugusan pulau-pulau atau kepulauan.
Menurut para ahli khususnya penguasaan Udamakataraya bahkan Indonesia Timur, baru merupakan wacana dari Maha Patih Gajah Mada asisten Raja Majapahit Hayam Wuruk, dengan alasan tidak ada bukti peninggalan berupa candi, prasasti,ataupun pajak/upeti seperti ditemukan pada wilayah kekuasaan lainnya. Penguasaan Majapahit itu kemungkinannya hanya dalam penguasaan wilayah perdagangan (Berniaga).
Menurut penuturan orang tua Sangihe bahwa dahulu kala Kerajaan Majapahit pernah berlabuh di tanjung Pulisang, kemudian di ijinkan masuk ke Manado Tua lalu berangkat menuju pelabuhan Petta Tabukan. Dengan seizin raja Gumansalangi kerajaan Tampungang Lawo,maka kerajaan Majapahit menjadikan Makatara di pulau Karakelang (Talaud) sebagai pangkalan armada perang untuk menyerang kerajaan Solok atau Sulu atau Sulug dalam bahasa Sangir disebut Suluge sekarang masuk wilayah Negara Philipina.
Bolaang Mongondow ( warna merah )
Peta Bolaang Mongondow & Kepulauan Sangihe.
Hubungan Kepulauan Sangihe dengan Bolaang Mongondow.
Adapun sebagai Kulano (Raja) yang pertama sekali di Tampunganglawo (Pulau Sangihe) adalah bernama Gumansalangi mempunyai istri bernama Ondoasa yang disebut juga Sangiangkonda atau Kondowulaeng.
Gumansalangi adalah seorang Putra Mahkota dari Sultan di Kotabato (Mindanao Selatan) akhir abad ke XII. Menurut pesan ayahnya, bahwa Gumansalangi bersama dengan istrinya Ondaasa, keduanya harus pindah dari Kotabato dengan maksud supaya mereka dapat mendirikan Kerajaan baru disebelah Timur.Untuk mematuhi perintah ayahnya, maka keduanya berangkat dari Kotabato dengan memakai Perahu ULAR SAKTI singgah di Wiarulung (Pulau Balut), kemudian menuju arah selatan sampai di Pulau Mandolokang (Tagulandang), dan di Pulau ini mereka tidak turun, langsung melewati Pulau Siau, terus ke Tampunganglawo yaitu di Tabukan Selatan. Dalam perjalanan ini ikut pula saudara laki-laki dari Andoasa yang bernama Pangeran Bawangunglara.
Di Tabukan Selatan mereka turun mendarat di sebuah tempat yang disebut Pantai Saluhe. Oleh karena Gumansalangi adalah seorang Kulano atau Raja, maka tempat mereka mendarat itu berubah namanya oleh penduduk disitu menjadi SALUHANG yang berarti dielu-elukan dan dipelihara supaya ia bertumbuh dengan baik dan subur.
Dari kata SALUHANG kemudian diubah menjadi SALURANG hingga sekarang. Pada abad ke XIII atau Tahun 1300 Masehi, mereka mendirikan sebuah Kerajaan baru di Salurang dan wilayahnya sampai di Marulang.
Setelah Kerajaan Salurang telah berdiri dengan baik, maka Pangeran Bawangunglaro dengan perahu ULAR SAKTInya berangkat lagi melanjutkan perjalanannya kearah Timur Laut dan ia sampai di Talaud yaitu di Pulau Kabaruan pada salah satu tempat yang mulai sejak itu tempat tersebut diberi nama Pangeran sampai sekarang.
Setelah keberangkatan Bawangunglaro ke Talaud, Gumansalangi bersama istrinya tidak menetap lagi di Salurang, dan tempat itu hanya dijadikan Pusat Pemerintahan saja. Keduanya pindah ke Puncak Gunung Sahendarumang dan menetap disana.
Setelah keduanya berada di tempat ini maka selalu kedengaran bunyi guntur dan sinar cahaya kilat yang memancar dari Puncak Gunung itu, sehingga Gumansalangi diberi nama MEDELLU yang berarti GUNTUR yang berbunyi dan Ondaasa diberi nama MEKILA yang berarti KILAT yang bercahaya dan sampai saat ini kedua nama tersebut sudah tidak diubah lagi. Gumansalangi dan Ondaasa mempunyai 2 orang anak yaitu Melintang Nusa dan Meliku Nusa.
Setelah kedua anaknya menjadi dewasa, maka Pemerintah Kerajaan Salurang diserahkan kepada anaknya yang sulung yaitu Melintang Nusa dalam Tahun 1350, sedangkan anaknya yang bungsu yaitu Meliku Nusa pergi mengembara ke Selatan dan sampai di Bolaangmangondow, ia menikah dengan Menongsangiang (Putri Bolaang mangondow) dan ia menetap disana sampai meninggal.
Raja Majapahit Hayam Wuruk memerintah (1350-1389)
Source :
Terbentuknya kerajaan2 dan Kulanlo di Tampunglawo ( Sangihe )
Pemerintah Kabupaten Sangihe.
Raja Majapahit Hayam Wuruk memerintah (1350-1389).
Buku Kitab Negarakertagama merupakan karya termasyhur pujangga sastra terkenal saat itu, Mpu Prapanca yang ditulis tahun 1365.
Source: Kumparan
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.
Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan WA Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit ) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).
Source: Jejak Budaya Majapahit di Sulawesi Tercatat raja Buton ke III Batara Guru/ Bancakan Pantola pernah mengunjungi Majapahit.
Selayar - Sulawesi Selatan
Jejak Majapahit di Tanadoang Selayar
Meriam kuno itu belum mendapat penelitian lebih jauh. Tapi, melihat ciri fisiknya, sejumlah pihak menyakini meriam kuno berbahan perunggu itu termasuk peninggalan kerajaan Majapahit. Bentuk dan fitur relief meriam di Bissorang itu bisa dipastikan jenisnya adalah Cetbang, senjata andalan armada laut kerajaan Majapahit masa lampau.
Meriam kuno ini masih disimpan dan dirawat dengan baik oleh seorang warga setempat yang dipercaya untuk menjaganya. Kondisi meriam bersih dan mulus. Semua relief dan ukirannya masih nampak jelas. Sayangnya, tidak ada literatur yang bisa menjelaskan keberadaan meriam kuno Majapahit ini, apakah hasil rampasan perang dari kapal armada Seram ataukah sudah disana sebelumnya.
Penduduk Bissorang menyebutnya ba’dili atau Papporo Bissorang. Meriam ini diperkirakan sudah ada melalui hubungan antarkerajaan Majapahit. Menurut sejarahnya, senjata jenis meriam itu sudah ada disana sejak Kampung Bissorang dulunya berada di pesisir pantai kemudian pindah ke puncak bukit batu.
Pada masa silam, Selayar punya peran penting dalam perdagangan rempah-rempah di Moluccan alias Maluku. Pulau ini menjadi tempat singgah para pedagang untuk mengisi armada lautnya dengan sejumlah bekal sembari menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari situlah, muncul kata “Selayar”. Nama Selayar berasal dari kata cedaya, yang dalam bahasa Sansekerta bermakna satu layar. Konon, kata ini dipilih lantaran banyak perahu satu layar yang singgah di sini.
Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca.
Cetbang (juga dikenal sebagai bedil, warastra, atau meriam coak) merupakan senjata jenis meriam yang diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya. Ada 2 jenis utama dari cetbang: Cetbang bergaya timur yang bentuknya mirip meriam Cina dan diisi dari depan, dan cetbang bergaya barat yang berbentuk mirip meriam Turki dan Portugis, diisi dari belakang.
Cetbang Source : wikipedia
Majapahit adalah juga nama sebuah Desa yang berada di wilayah Kecamatan Pasimarannu, Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan.
Diantara Wilayah wilayah Hasta Mandala VI Yakni Talaud/Siau, Makassar dan Buton terdapat persamaan penamaan benda, tempat dan individu dengan nama Ponto.Hal tersebut dimungkinkan terjadi dengan adanya interaksi dari jaman Majapahit, karena wilayah wilayah tersebut masuk dalam kelompok Hasta Mandala VI .Di dalam kebudayaan Makassar terdapat gelang bernama Ponto Nagaya ( Majapahit juga tersohor dengan gelang majapahit), Tanjung JenePonto dan Kabupaten JenePonto di Sulawesi Selatan kemudian di Talaud/Siau & Bolang itang Sulawesi Utara terdapat raja raja yang bernama Ponto kemudian juga nama Raja LakilaPonto di Buton Sulawesi Tenggara ,daerah daerah tersebut terdapat jejak jejak kerajaan Majapahit.
Baru nanti di Bolang Itang Sulawesi Utara abad 17 dan abad 18 di Siau nama Ponto dijadikan nama Marga .
Source : - F.E.Tangkudung.
- Wikipedia.
Comments
Post a Comment